PACITAN, -Pilkada Pacitan telah usai namun masih menyisakan fenomena dan pertanyaan yang perlu jawaban dan penjelasan kepada publik. Misalnya terkait pelanggaran pemilu oleh salah satu Kepala Desa yang sempat viral, bagaimana tindak lanjutnya oleh lembaga berwenang.
Selain itu turunya partisipasi masyarakat yang menggunakan hak pilihnya merosot tajam sehingga masyarakat mempertanyakan legitimasi hasil pilkada dan bagaimana tanggung jawab lembaga yang berwenang, juga fenomena kemenangan incumben di tingkat daerah tapi justru di Kota kalah.
Salah satu fenomena menarik lainnya belakangan ini muncul beberapa Baliho (Billboard) ukuran raksasa di jalan Protokol Ibukota Pacitan. Tulisan di baliho tersebut ada yang menganggap tidak lazim “… nderek dawuh BERES !!” ada lagi tulisan baliho “mikul duwur mendem jero” dan lain – lain.
Anehnya baliho tersebut tidak mencantumkan siapa pemesan baliho tersebut atau lambang perusahaan, instansi, lembaga, partai mana. Kejadian ini berpotensi menimbulkan pertanyaan di masyarakat. Tidak ada salahnya kalau ada yang bertanya-tanya punya siapa baliho tersebut dan untuk apa serta ditujukan untuk siapa tulisan dimaksud, urgensinya menjadi tidak jelas.
Menurut salah satu Pemerhati perkembangan kota Pacitan drh. Wahyu Saptonohadi, MKM ketika dikonfirmasi tentang maraknya baliho-baliho raksasa di dalam kota pacitan dengan tulisan yang dianggap tak lazim itu memiliki multi tafsir,
“Pemesan baliho ingin mengirimkan pesan tertentu untuk komunitas tertentu. Contoh, Tulisan baliho “Nderek Dawuh BERES !!” katanya
“Memberi makna tafsir bahwa setiap perintah harus dilaksanakan, ‘no discussion’, rakyat harus taat dan sendiko dawuh, tidak boleh ada yang berbeda dan apalagi membantah. Di alam demokrasi pemaksaan kehendak seperti itu tidak pada tempatnya apalagi memaksakan pendapat dan pilihan kepada calon tertentu” (23/12/2024)
“Seperti diketahui pada Pilkada lalu salah satu paslon kalah di ‘Ibukota Pacitan’. Apakah dengan baliho ini ingin membungkam demokrasi terhadap warga ibukota yang berbeda pendapat yang tidak sendiko dawuh pada Pilkada kemarin”
“Mengapa baliho tidak dipasang di daerah-daerah, justru di pasang di depan gedung Wakil rakyat, dijalan protokol ibukota.” tanya wahyu
“Tafsir lain mungkin juga baliho ditujukan untuk menyenangkan’ Big Bos’ agar dibaca dilihat oleh sang Big Bos untuk menyenangkan sang Big Bos.” imbuhnya
“Berkembangnya budaya asal bapak senang (ABS) menggambarkan fenomena di mana keputusan atau tindakan diambil hanya untuk memenuhi keinginan atau kepentingan pemimpin (bapak) tanpa mempertimbangkan kepentingan atau hak-hak orang lain, terutama rakyat atau anggota masyarakat.” jelasnya.
“Dalam konteks demokrasi, budaya ABS mengandung makna bahwa keputusan yang diambil hanya untuk memuaskan keinginan pemimpin dan merusak prinsip-prinsip demokrasi seperti ; hilangnya hak-hak rakyat, terabaikannya kepentingan publik, penindasan kebebasan berpendapat, keterlibatan dalam korupsi dan nepotisme, penghancuran sistem check and balance”
“Bilamana hal tersebut dibiarkan akan berdampak pada ; Ketergantungan pada keputusan satu orang, pengurangan transparansi dan akuntabilitas, peningkatan ketidaksetaraan dan diskriminasi, melemahnya lembaga-lembaga demokratis, munculnya otoritarianisme dan penindasan.” tegasnya
“Iklan layanan masyarakat yang baik adalah yang dapat mempersatukan seluruh masyarakat tidak mempedulikan aliran politik,
memotivasi masyarakat untuk bekerja dan bangkit membangun Pacitan.” tuturnya.
Lebih lanjut dikatakan, pemasangan baliho ukuran raksasa di jalan protokol tengah kota pasti berbiaya sangat mahal. Untuk itu instansi berwenang agar melaksanakan pengecekan dan memastikan pemasang iklan di baliho membayar retribusi dan pajak sebagai salah satu sumber pendapatan daerah. (Mj)